PERISTIWA
BERDARAH
Oleh
: Khaza @lifa
Ratusan petani berkumpul gembira,
menyambut perayaan hari petani sedunia. Lantunan suara Gong dan gamelan
mengarungi perayaan diatas gulungan tanah sengketa. Suasana begitu
menggembirakan, puluhan anak-anak kecil, nenek-nenek hingga bocah kecil jagoan
sang surya turut menghadiri acara tersebut.
Beberapa lama terlah berlalu, jam
dipergelangan tangan telah menunjuk jam 08:30. Deretan baris para polisi
seketika tiba mengelilingi penyelenggaraan acara tersebut. Tak ada yang hawatir
ataupun takut, tak mungkin juga harus ditangkap, perayaan tersebut juga telah
diizinkan oleh sang Mabas Polri. Suara semakin menggiur dengan datangnya
beberapa track yang berisi para petani dari berbegai daerah yang bertujuan
sama. Memperingati hari Tani sedunia.
Ku turut menikmati lantunan lagu
yang begitu indah, dengan lagu daerah yang dilantunkan, semua orang menjadi
larut dalam kebahagiaan termasuk aku dan kedua rekan mahasiswa ku.
Suasana tiba-tiba mencekal batin,
ketika semakin banyaknya para polisi yang datang, dengan membawa pasokan brimob
yang dilengkapi dengan senjata api diiringi dengan satu pansher gas air mata.
Tak sedikitpun hati ku merasa kecut, karena pikir ku, mereka akan menjaga acara
yang para petani gelar diatas tanah sengketa tersebut.
Setengah jam telah berlalu, suasana
masih seperti biasa. Namun seketika dalam pertengahan detik pertama, suana
langsung berubah derastis. Tembakan para polisi menggiurkan batin, kami
dibubarkan secara paksa, tenda yang kami bangun dengan sejuta semangat yang
membara seketika dirobohkan. Ratusan peluru meluncur seakan mengejar, hingga
beberapa orang terkapar, mengeluarkan darah ditanah perjuangan.
Sesegera mungkin ku selamatkan
anak-anak tak berdosa dan nenek-nenek tak berdaya meninggalkan serangan dari
karib sendiri. Kami diserang dengan sekutu sendiri. Seakan teman menjadi lawan.
Kami para mahasiswa dan petani
mencoba melawan, dari kejamnya penguasa yang dzalim. Dengan bambu runcing yang
diasah dengan semangat. Sekitika aku membayangkan bahwa aku tengah berada
dimasa penjajahan, namun yang menjadi lawan bukanlah musuh yang patut diusir,
namun yang berdiri didepan kami adalah ratusan kawan yang menjadi lawan.
Kekejaman sang penguasa membabi
buta, orang-orang tak bersalah ditembaki dengan ratusan butir peluru, sedang
para koruptor tertawa terbahak-bahak memakan hak milik rakyat. Sungguh kejam.
Kini telah puluhan orang terkapar
ditanah lapang peninggalan nenek moyang, pansnya peluru menusuk tubuh, memberi
duka yang begitu dalam. Dengan orang yang masih tersisa dalam semangat, kami
memperjuangkan hak milik rakyat. Khususnya para petani.
Seketika peluru karet menusuk
dada,tetesan darah bercucuran memerahkan kemeja putih yang ku kenakan, akupun
terkapar dan tak berdaya. Gugur dalam perjuangan membela rakyat. Dari kejamnya para
penguasa yang dzalim.
Menitari
26 september 2012