Friday, December 6, 2013

Kaidah Wujuh Dan An-Nazhair

Kaidah Wujuh Dan An-Nazhair
  1. A.    Pendahuluan

Alquran merupakan mu’jizat terbesar Rasulullah SAW. Ia merupakan kalam Allah SWT yang secara otentik sampai ke hadapan kita. Tidak ada kitab-kitab lain yang mampu bertahan selama berabad-abad dalam kondisi  sebagaimana aslinya, melainkan Alquran. Karena, memang Allah telah menjamin penjagaan Alquran itu sendiri hingga akhir zaman.
Banyak hal yang menjaga otentisitas Alquran ini. Seperti adanya faktor eksternal yaitu para huffaz yang sangat banyak bertebaran. Memang suatu keistimewaan tersendiri, Alquran bisa dihafal oleh orang non Arab sekalipun yang notabene bahasa Arab bukanlah bahasa mereka. Akan tetapi tidak ada yang bisa menghafal buku atau koran lokal dengan bahasa mereka masing-masing. Begitu juga dengan ilmuan yang dengan telitinya menghitung ayat, kata, bahkan huruf dalam Alquran.
Tak kalah penting—dan sangat penting sekali—unsur-unsur internal Alquran yang memberikan andil yang sangat besar dalam otentisitas ini. Hal ini berupa keajaiban-keajaiban yang tiada terkira sebelumnya, seperti halnya keajaiban angka sembilan belas yang ada dalam Alquran. Nilai sastra yang terkandung dalam kalimat demi kalimat pada setiap ayat demi ayat dan surat dari awal hingga akhir mencapai batas yang tak terjangkau oleh kemampuan manusia untuk membuat karya yang menyamainya.
Namun begitu, tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar permasalah tersebut. nantinya, permasalahan yang dibahas dalam makalah ini berkenaan dengan salah satunya saja, yaitu dari segi al-wujuh wa al-nazhair dalam Alquran. Dalam Alquran sering ditemukan pengulangan kata-kata yang sama. Pada setiap tempatnya, kata-kata tersebut memiliki tunjukan makna yang berbeda. Pada ayat setiap ayatnya lain kata tersebut mengalami pergeseran makna sesuai dengan konteksnya. Pergeseran makna tersebut tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran Alquran. Bahkan, dengan adanya pergeseran tersebut dapat menuju pada standar untuk memperoleh makna Alquran yang sebenarnya dalam kondisi objektif teks dan firman Allah SWT. Salah satu metode untuk bisa memahami isi Alquran seorang mufasir harus bisa menguasai makna asli dan makna ‘aridly dan perlu mempelajari ilmu wujuh dan nazhair sebagai pembuka makna-makna ayat yang tersembunyi. Seseorang tidak dikatakan sebagai ahli tafsir apabila belum bisa menguasai wujuh dan nazhair dalam Alquran.



  1. B.     Pembahasan
  2. 1.      Pengertian Wujuh dan An-Nazhair

Yang dimaksud dengan al-wujuh adalah suatu lafadz yang memilki makna ganda yang digunakan dalam beberapa maknanya yang beragam. Sedangkaan an-nazha’ir adalah yang mempunyai suatu makna tertentu yang tetap sekalipun digunakan dalam berbagai tempat.[1]
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Muqatil dalam permulaan kitabnya suatu hadits marfu’:[2]
لا يكون الرجل  فقيها  كل الفقه حتى يرى للقرآن وجوها كتيرة
 “Seseorang tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum dia mengetahui makna yang beragam (wujuh) dari Al-Qur’an”.
Sedangkan dari riwayat lain seperti Ibnu ‘Asakir meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Hammad Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qalabah, dari Abu Darda’ : ”Sesungguhnya engkau tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum engkau mengetahui makna-makna Al-Qur’an dalam berbagai ragam”.
Dalam pengertian lain menyatakan bahwa Wujuh pada dasarnya merujuk kepada makna sesuatu yang di depan. Wajh al-bait merupakan bagian depan rumah yang mempunyai pintu. Wajh al-faras adalah bagian depan dari kepalanya. Wajh al-nahar merupakan permulaan siang, begitu juga dengan wajh al-dahr, berarti permulaan tahun. Wajh al-najm adalah bagian bintang yang terlihat oleh manusia dan lain-lain. Dari makna dasar ini, maka dipakaikanlah redaksi wujuh sebagai suatu nama dari diskursus tertentu dalam Ulum Al-Qur’an yang membahas lafaz-lafaz Alquran yang memiliki beragam tunjukan makna.[3]
Ibnu Jauzi mendefinisikan al-wujuh wa al-nazhair, sebagaimana dikutip oleh Salwa Muhammad, sebagai:
“Adanya suatu kata yang disebutkan dalam tempat tertentu dalam Alquran dengan suatu lafaz dan harkat tertentu, dan dimaksudkan untuk makna yang berbeda dengan tempat lainnya. Maka, kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama dengan yang disebutkan pada tempat lainnya. Dan penafsiran makna setiap katanya berbeda pada setiap tempatnya disebut wujuh, Jadi nazhair sebutan untuk lafaz dan nazhair sebutan untuk makna yang beragam.”[4]
Jadi, sederhananya wujuh merupakan pemahaman mufassir terhadap suatu kata dalam tempat tertentu dengan makna tertentu. Dan wujuh lainnya adalah pemahaman mufassir terhadap kata yang sama pada tempat lainnya dengan makna yang berbeda dengan pemahaman pertama. Sementara nazhair, sebagaimana definisi Ibn Jauzi, sebutan bagi lafaz, maka kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama (nazhirun) dengan yang disebutkan pada tempat lainnya. Berarti, kata-kata yang terulang dalam beberapa tempat dalam Alquran tersebut, bukanlah mengalami pengulangan kata itu sendiri (lais huwa nafsuhu), melainkan kata yang sama (nazhiruhu).[5]  Jadi, kata kitab misalnya, yang terdapat di banyak tempat dalam Alquran, pada dasarnya tidak disebutkan berulang, hanya saja disampaikan kata yang sama dengannya (nazhiruhu). Kitab yang disebutkan pada tempat A, bukanlah kitab yang disebutkan pada tempat B.
Di samping itu, Imam Al-Shuyuti menjelaskan pengertian definitif wujuh dan nazhair:[6]
Wujuh adalah lafaz musytarak yang digunakan dalam beberapa ragam maknanya, seperti lafaz ‘ummah’. Dan nazhair adalah seperti lafaz-lafaz yang bersesuaian (alfaz al-mutawathi’ah).
Akan tetapi, Salwa Muhammad mengkritik definisi ini. Menurutnya, pada definisi ini terjadi pencampuradukan antara sudut pandang bahasa Alquran dengan sudut pandang bahasa Arab. Memang Alquran berbahasa Arab, namun bahasa Alquran lebih khas dari bahasa Arab sehingga bahasa Arab merupakan alat bantu untuk memahami bahasa Alquran.[7]

  1. 2.      Wujuh dan Nazha’ir Sebagai Fenomena Kebahasaan

Wujuh sebagai kata atau ujaran, merupakan unsur terkecil bahasa yang telah memiliki makna dan memiliki banyak pengertian sehingga digunakan diberbagai tempat dalam Al-Qur’an dengan pengertian yang beragam.
Wujuh pada dasarnya memiliki sebuah makna yang tetap melekat padanya, namun ketika kata tersebut memasuki sebuah kalimat untuk menunjukkan konteks tertentu dari suatu teks, kata tersebut mengalami perkembangan makna berdasarkan konteksnya.[8]
Makna yang tetap melekat padanya, yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan, disebut dengan makna dasar suatu kata. Perkembangan makna yang dialami oleh suatu kata, terjadi jika kata dipahami dalam sistem hubungan bahasa yang digunakan untuk manjelaskan suatu konteks. Makna yang ditambahkan pada suatu kata sepanjang dimaknai dalam suatu sistem hubungan bahasa itu, disebut makna relasional.[9]
Sebagai contoh adalah kata Kitab yang terpisah dari sistem hubungan memiliki makna dasar “Kitab”. Namun, saat ia diletakkan pada sistem khusus dalam hubungan erat dengan kata-kata penting seperti Allah, Wahyu, Tanzil, Nabi,dll ia dipahami secara komprehensif sebagai kata yang memiliki signifikansi dalam kehidupan muslim. Kitab, kemudian bukan hanya sebagai sebuah kitab dalam makna dasarnya, malainkan kitab yang merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi. Kata Kitab jadi memiliki makna baru yang tidak dipahami sebelumnya oleh masyarakat pra-Islam.[10]
Menurut Izutsu, tidak satu pun istilah kunci yang berperanan dalam pembentukan pandangan dunia (Weltanschauung). Al-Qur’an merupakan istilah-istilah baru. Namun, saat istilah-istilah itu dipakai dalam Al-Qur’an sebagai sistem hubungan yang komprehensif, konteks umumnya lalu menciptakan makna yang tidak dikenal sebelumnya oleh orang-orang Musyrik Makkah. Keterpaduan istilah-istilah kunci dalam Al-Qur’an telah menciptakan pandangan dunianya sendiri-sendiri sebagai cakrawala baru untuk memahami masing-masing istilah dalam Al-Qur’an.
Sealain itu, Gadamer mengemukakan bahwa bahasa memiliki struktur spekulatif yang berarti cermin.[11] Seseorang yang sedang memandang sahabatnya melalui cermin walaupun ia dapat melihat wajah dan bentuk tubuh sahabatnya, namun apa yang ia lihat bukanlah sahabatnya yang sesungguhnya. Bahkan wajah dan bentuk tubuh sahabatnya itu pun sangat terpangaruh oleh sudut pandangnya. Ini dianalogikan dengan seseorang yang membaca maksud Allah melelui teks Al-Qur’an. Walaupun ia dapat membaca kehendak Allah lewat teks tersebut, namun pembacaannya tentu berbeda dengan pembacaan orang dari perspektif yang berbeda. Sehingga dari sinilah Al-Qur’an dapat dipahami bahwasanya Al-Qur’an memiliki kebenaran yang bersifat Multidimensi.
Kata-kata dalam Al-Qur’an yang memiliki interrelasi inilah yang dipahami sebagai Wujuh. Sedangkan Nazha’ir adalah kata-kata yang bukan merupakan istilah-istilah kunci sebagai konsep religius, sehingga ia dipahami dengan makna dasarnya yang berpijak pada tradisi bahasa Arab saat Al-Qur’an diturunkan.
  1. 3.      Wujuh dan Nazha’ir Sebagai Fenomena Kewahyuan

Al-Qur’an sebagai jalan hidup mengandung kalam Allah sebagai gagasan-gagasan Islam yang bersifat transendental dan universal, shalih kulli zaman wa makan. Untuk dapat berfungsi sebagai petunjuk Al-Qur’an harus dapat dipahami oleh pembacanya.
Untuk memahami makna yang ada di balik kalam Allah didalam Al-Qur’an, dapat dilakukan dengan berbagai macam upaya. Meski pada dasarnya tidak ada seorang pun yang berhak mengatakan bahwa apa yang dapat dipahami dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut adalah merupakan apa yang sebenarnya dimaksud oleh Allah. Namun,terdapat standar                                                 untuk memperoleh kesepakatan makna dari bahasa Kitab suci tersebut,  yakni kondisi objektif teks atau firman tertulis dalam bahasanya itu sendiri.[12]
Fenomena Wujuh dan Nazha’ir dalam pembahasan ilmu-ilmu Al-Qur’an juga merupakan hasil usaha yang dilakukan untuk manafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Fenomena Wujuh menunjukkan bahwa sistem hubungan istilah-istilah kunci dalam Al-Qur’an telah membentuk pandangan dunianya sebagai cakrawala pemahaman bagi pembacanya dalam usaha memahami kandungannya. Sedangkan fenomena Nazha’ir mengindikasikan Al-Quran sebagai peristiwa kesejarahan yang juga menggunakan kata-kata dengan makna dasar yang diwarisi oleh tradisi saat dan dimana ia diturunkan.
Maka Wujuh  merupakan fenomena kewahyuan, dimana seorang pembaca AL-Qur’an akan mendapatkan bahwa ayat-ayatnya menampakkan wajahnya dari perspektif dan latar belakang ia membacanya.

  1. 4.      Wujuh dan Nazhair dalam Al-Qur’an

Para mufassir telah meneliti bahwa tidak sedikit kata-kata dalam Alquran yang keluar beberapa kali, dan setiap kali kata itu digunakan pada suatu tempat (kalimat/ayat), akan bermakna berbeda dengan penggunaannya pada tempat lain.[13]
Dalam al-Itsqan, setelah dipelajari, terdapat sepuluh kata yang mempunyai banyak makna. Kata-kata tersebut adalah: (1) Huda, yang mempunyai tujuh belas makna, (2) al-su’u yang mempunyai sebelas arti yang berbeda, (3) al-shalah yang mempunyai sembilan makna, (4) al-rahmah yang mempunyai empat belas makna, (5) al-fitnah yang mempunyai lima belas makna, (6) al-ruh dengan sembilan makna, (7) al-qadha dengan lima belas arti, (8) al-zikru yang mempunyai tujuh belas makna, (9) al-du’a yang mempunyai enam makna, dan (10) al-ihshan dengan tiga makna. Selanjutnya, juga disampaikan kata-kata yang mempunyai makna seragam dengan satu pengecualian, seperti kata al-asaf yang berarti “kesedihan”, dalam satu ayat ia jadi bermakna menjadikan marah.
Berikut ini akan dipaparkan secara rinci berikut contoh ayat dari satu kata saja dengan berbagai perbedaan maknanya, yaitu al-Huda. Sebagaimana disampaikan di muka, kata al-huda yang mempunyai beragam makna dalam al-Qur’an, yaitu:[14]
1)             Al-tsabat (tetapkan)
اهدناالصراط المستقيم
Artinya: Teguhkanlah kami pada jalan yang lurus (Al-Fatihah: 6)

2)             Al-bayan (petunjuk)
اولئك على هدى من ربهم وأولئك هم المفلحون
Artinya: Merekalah yang berada dalam penjelasan Tuhan dan mereka akan berhasil (Al-Baqarah: 5)

3)             Al-din (agama)
قل ان الهدى هدى الله  ايؤتى احدمثل  ما اوتيتم اويحا جُّوكم.......
Artinya: Katakanlah, “Agama yang benar ialah agama Allah: (takutlah kamu) supaya tidak ada yang akan diturunkan kepada orang lain seperti yang telah diturunkan kepada kamu atau mereka (yang menerima wahyu demikian) akan membantah kamu di depan Tuhanmu?” Katakanlah, “Segala karunia di tangan Allah, diberikan kepada yang Ia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Tahu” (Ali Imran: 73).

4)             Al-iman (keimanan)
ويزيد الله الذين  اهتدوا هدى والبا قيا ت الصالحات.....
Artinya: Dan Allah akan menamabah keimanan kepada mereka yang telah dikaruniakan iman dan amal kebaikan kekal, dalam pandangan Tuhanmu itulah yang terbaik sebagai pahala dan yang terbaik sebagai tempat kembali (Maryam: 76).

5)             Ad-Dua’ (seruan)
ويقول الذين كفروا لولاانزل عليه آية من ربه انما انت منذر ولكل قوم هاد
Artinya: Dan orang-orang kafir berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya sebuah ayat dari Tuhannya?” Tetapi engkau adalah seorang pemberi peringatan, dan pada setiap golongan ada seorang penyeru (Al-Ra’d: 7).

6)             Al-rasul dan al-kitab (para Rsul dan Kitab-kitab)
قلنااهبطوا منها جميعا  فإما يأتينكم منى هدى فمن تبع هداي فلا خوف عليهم ولاهم يحزنون
Artinya: Kami berfirman, “Turunlah kamu sekalian dari sini, maka apabila datang kepadamu rasul dan kitab Aku, siapa pun mengikuti rasul dan kitab-Ku tak perlu khawatir, tak perlu bersedih (Al-Baqarah: 38)

7)             Al-ma’rifah (pengetahuan)
وبالنجم هم يهتدون
Artinya: Dan rambu-rambu dan dengan bintang-bintang mereka mengetahui. (Al-Najm: 16).

8)             Nabi SAW
ان الذين يكتمون ماانزالنامن البينات والهدى من بعد.....
Artinya: Mereka yang menyembunyikan segala keterangan (ayat-ayat) dan Nabi yang Kami turunkan setelah dijelaskan dalam kitab kepada manusia, mereka mendapat laknat Allah, dan laknat mereka yang berhak melaknat (Al-Baqarah: 159).

9)             Al-Qur’an
ان هي الا اسماء سميتموها انتم وابا اكم ماانزل الله بها من سلطان ان يتَّبعو ن الاالظنَّ وما تهوى الانفسوولقدجاءهم من ربهم الهدى
Artinya: Itu hanya nama-nama yang kamu buat-buat sendiri-sendiri, kamu dan moyang kamu, Allah tidak memberi kekuasaan itu. Apa yang mereka ikuti hanyalah dugaan dan yang menyenangkan nafsu sendiri! Padahal Al-Qur’an dari Tuhan sudah sampai kepada mereka (Al-Najm: 23).

10)         Taurat
ولقد اينا موسى الهدى وأو رتنابنى إسرائيل الكتاب
Artinya: Dahulu telah Kami berikan kepada Musa Taurat, dan kamu wariskan kitab itu kepada Bani Israil (Al-Mukmin: 53)


11)         Al-Istirja’ (permohonan perlindungan)
اولئك عليهم صلوات من ربهم ورحمة والئك هم المهتدون
Artinya: Mereka itulah yang mendapatkan karunia dan rahmat dari Tuhan dan mereka itulah yang memohon perlindungan (Al-Baqarah: 157)

12)         Al-Hujjah (alasan)
الم ترإلى الذى حاجَّ ابراهيم فى ربه أن اتاه الله الملك اذقال ابراهيم ربي الذي يهي ويميت قال انااحيي واميت قال ابراهيم فان الله يأ تي بالشمش من المشرق فأ ت بهامن المغرب فبهت الذي كفر والله لا يهدى القوم الظالمين
Artinya: Tidakkah tergambar olehmu orang yang berdebat dengan Ibrahim tentang Tuhannya karena ia telah diberi kekuasaan? Ibrahim berkata, “Tuhanku Yang menghidupkan dan Yang mematikan.” Ia berkata, “Akulah yang menjadikan hidup dan membuat mati,” Ibrahim berkata, “Tapi Allah yang menyebabkan matahari terbit di timur, terbitkanlah kalau begitu dari barat.” Orang yang ingkar itu terkejut. Allah tidak memberikan alasan kepada orang-orang yang zalim (Al-Baqarah: 258).

13)         Al-Tauhid (ajaran keesaan)
وقالوا ان نتبع الهدى معك نتخطف من ارضنا اولم نمكن لهم حرما امنا يجبى اليه......
Artinya: Mereka berkata, “Maka akan mengikuti ajaran keesaan bersamamu, tentulah kami akan diusir dari tanah kami.” Bukankah Kami sudah menetapkan bagi mereka tempat yang suci dan aman? Ke sana didatangkan segala macam buah-buahan sebagai rezki pemberian Kami. Tetapi kebanyakan mereka tidak tahu. (Al-Qashash: 57).


14)         Al-Sunnah (pedoman perilaku)
بل قالوا إنا وجدنا أباء نا على امةٍ وانا على اثا رهم مهتدون
Artinya:Bahkan mereka berkata, “Kami sudah melihat leluhur kami sudah menganut suatu agama, dan kami berpedoman kepada mereka (Al-Zukhruf: 22).

15)         Al-Ishlah (pembenaran)
ذلك ليعلم أني لم  اخنه بالغيب وان الله لا يهدى كيدالخا ئنين
Artinya: Itulah supaya ia tahu bahwa aku tidak mengkhianatinya ketika ia tidak ada, dan Allah tidak membiarkan tipu muslihat para pengkhianat (Yusuf: 52)


16)         Al-Ilham (ilham)
قال ربناالذي اعطى كل شيئ خلقه ثم هدى
Artinya: Ia berkata, “Tuhan kamilah yang memberikan segala sesuatu bentuk dan kodratnya, kemudian mengilhaminya. (Thaha: 50)

17)         Al-Taubah (taubat)
واكتب لنافى هذه الدنيا حسنة وفي الاخرة إنا هدنا اليك........
Artinya: Dan tetapkanlah untuk kami kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Sungguh, kami bertaubat kepada-Mu.” Ia berfirman, “Azab-Ku akan menimpa siapa-siapa yang Ku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Dan akan Kutetapkan (rahmat-Ku) untuk mereka yang bertakwa dan yang mengeluarkan zakat serta mereka yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 157).

Sedangkan contoh nazha’ir dalam Al-Qur’an adalah kata “al-barru” yang selalu bermakna darat dan “al-bahru” yang selalu bermakna laut, misalnya dalam ayat :
1.             QS Al-an’am [6] : 59
.......ويعلم ما فى البرِّ والبحر.....
“Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut.”
2.             QS Yunus [10] : 22
هوالذي يسبِّركم فى البرَّ والبحر
“Dialah yang memungkinkan kamu menjelajahi daratan dan lautan.”
3.             QS Al-isra’ [17] :70
ولقد كرَّمنا بنى ادم وحملنهم فى البر والبحر ورزقنهم من الطيبت .........
“kami telah memberi kehormatan kepada anak-anak adam, kami lengkapi mereka dengan angkutan di darat dan di laut.”

  1. C.    Kesimpulan

Wujuh merupakan kata dalam Al-Qur’an yang digunakan dalam berbagai tempat dan memiliki tunjukan makna yang sama. Sementara nazha’ir adalah lafaz yang mempunyai satu makna tertentu yang tetap sekalipun digunakan dalam berbagai tempat. Di sisi lain, al-wujuh wa al-nazha’ir dipahami sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, hanya saja ia dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Suatu kata dalam Al-Qur’an yang terdapat pada beberapa tempat yang beragam merujuk kepada makna yang berbeda. Maka, perbedaan makna itu merupakan wujuh, sementara kata itu sendiri yang tetap sama pada berbagai tempat merupakan nazha’ir.
Wujuh  merupakan fenomena kewahyuan, dimana seorang pembaca AL-Qur’an akan mendapatkan bahwa ayat-ayatnya menampakkan wajahnya dari perspektif dan latar belakang ia membacanya.

  1. D.    Daftar Pustaka

Az-Zarkasyi. Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an Juz 1. Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008.
As-Shuyuti, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 hlm. 164. Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2003.
al-‘Awwal, Salwa Muhammad. al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar el-Syuruq. 1998.
Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia : Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terjemah Agus Fahri Husain dkk. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya,1997.
Poespoprodjo, Interprestasi : Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya, Bandung : Remaja Karya, 1987.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutk, Jakarta : Paramadina,1996.



[1]  Az-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an, juz 1, (Beirut: Isa al-Babi al-Halabi, 1972). Hlm. 103.
[2]  Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 hlm. 102. Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[3]  Salwa Muhammad al-’Awwa, al-Wujuh wa al-Nazhair ..., hlm. 41.
[4]  Salwa Muhammad al-awwa, al-Wujuh wa al-Nazhair.... hlm  42
[5]  Salwa Muhammad al-’Awwa, al-Wujuh wa al-Nazhair ..., hlm. 42.
[6]  Al-Shuyuti, Al-Itsqan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 hlm. 164. Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008
[7]  Salwa Muhammad al-’Awwa, al-Wujuh wa al-Nazhair ..., hlm. 44
[8]  Drs.Muhammad Chirzin, . Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2003), hlm. 207.
[9]  Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia : Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, terjemah Agus Fahri Husein dkk. (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997), Hlm.12
[10]  Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia : Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, terjemah Agus Fahri Husein dkk. (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997), Hlm. 11
[11]  Poespoprodjo, Interprestasi : Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya (Bandung : Remaja Karya, 1987), hlm.117
[12]  Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hemeneutik (Jakarta: Paramidana, 1996), hlm.9
[13] Salwa Muhammad al-’Awwa, al-Wujuh wa al-Nazhair ..., hlm. 41
[14] http://naklawang.blogspot.com/2011/01/al-wujuh-wa-al-nazhair_16.html diakses pada hari senin 18 November 2013 pukul 22:30

No comments:

Post a Comment

Bagaimana Isi Blog ini ?