Kaidah Wujuh Dan An-Nazhair
- A. Pendahuluan
Alquran merupakan
mu’jizat terbesar Rasulullah SAW. Ia merupakan kalam Allah SWT yang secara
otentik sampai ke hadapan kita. Tidak ada kitab-kitab lain yang mampu bertahan
selama berabad-abad dalam kondisi sebagaimana
aslinya, melainkan Alquran. Karena, memang Allah telah menjamin penjagaan
Alquran itu sendiri hingga akhir zaman.
Banyak hal yang
menjaga otentisitas Alquran ini. Seperti adanya faktor eksternal yaitu para
huffaz yang sangat banyak bertebaran. Memang suatu keistimewaan tersendiri,
Alquran bisa dihafal oleh orang non Arab sekalipun yang notabene bahasa Arab
bukanlah bahasa mereka. Akan tetapi tidak ada yang bisa menghafal buku atau
koran lokal dengan bahasa mereka masing-masing. Begitu juga dengan ilmuan yang
dengan telitinya menghitung ayat, kata, bahkan huruf dalam Alquran.
Tak kalah penting—dan
sangat penting sekali—unsur-unsur internal Alquran yang memberikan andil yang
sangat besar dalam otentisitas ini. Hal ini berupa keajaiban-keajaiban yang
tiada terkira sebelumnya, seperti halnya keajaiban angka sembilan belas yang
ada dalam Alquran. Nilai sastra yang terkandung dalam kalimat demi kalimat pada
setiap ayat demi ayat dan surat dari awal hingga akhir mencapai batas yang tak
terjangkau oleh kemampuan manusia untuk membuat karya yang menyamainya.
Namun begitu,
tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar permasalah tersebut. nantinya,
permasalahan yang dibahas dalam makalah ini berkenaan dengan salah satunya
saja, yaitu dari segi al-wujuh wa al-nazhair dalam Alquran. Dalam Alquran
sering ditemukan pengulangan kata-kata yang sama. Pada setiap tempatnya,
kata-kata tersebut memiliki tunjukan makna yang berbeda. Pada ayat setiap
ayatnya lain kata tersebut mengalami pergeseran makna sesuai dengan konteksnya.
Pergeseran makna tersebut tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran
Alquran. Bahkan, dengan adanya pergeseran tersebut dapat menuju pada standar
untuk memperoleh makna Alquran yang sebenarnya dalam kondisi objektif teks dan
firman Allah SWT. Salah satu metode untuk bisa memahami isi Alquran seorang
mufasir harus bisa menguasai makna asli dan makna ‘aridly dan perlu mempelajari
ilmu wujuh dan nazhair sebagai pembuka makna-makna ayat yang tersembunyi.
Seseorang tidak dikatakan sebagai ahli tafsir apabila belum bisa menguasai
wujuh dan nazhair dalam Alquran.
- B. Pembahasan
- 1. Pengertian Wujuh dan An-Nazhair
Yang dimaksud dengan
al-wujuh adalah suatu lafadz yang memilki makna ganda yang digunakan dalam
beberapa maknanya yang beragam. Sedangkaan an-nazha’ir adalah yang mempunyai
suatu makna tertentu yang tetap sekalipun digunakan dalam berbagai tempat.[1]
Sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam Muqatil dalam permulaan kitabnya suatu hadits marfu’:[2]
لا يكون الرجل
فقيها كل الفقه حتى يرى للقرآن
وجوها كتيرة
“Seseorang tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum dia
mengetahui makna yang beragam (wujuh) dari Al-Qur’an”.
Sedangkan dari
riwayat lain seperti Ibnu ‘Asakir meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari
Hammad Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qalabah, dari Abu Darda’ : ”Sesungguhnya
engkau tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum engkau mengetahui
makna-makna Al-Qur’an dalam berbagai ragam”.
Dalam pengertian
lain menyatakan bahwa Wujuh pada dasarnya merujuk kepada makna sesuatu yang di
depan. Wajh al-bait merupakan bagian
depan rumah yang mempunyai pintu. Wajh
al-faras adalah bagian depan dari kepalanya. Wajh al-nahar merupakan permulaan siang, begitu juga dengan wajh al-dahr, berarti permulaan tahun. Wajh al-najm adalah bagian bintang yang
terlihat oleh manusia dan lain-lain. Dari makna dasar ini, maka dipakaikanlah
redaksi wujuh sebagai suatu nama dari diskursus tertentu dalam Ulum Al-Qur’an
yang membahas lafaz-lafaz Alquran yang memiliki beragam tunjukan makna.[3]
Ibnu Jauzi
mendefinisikan al-wujuh wa al-nazhair, sebagaimana dikutip oleh Salwa Muhammad,
sebagai:
“Adanya suatu kata yang disebutkan dalam tempat tertentu
dalam Alquran dengan suatu lafaz dan harkat tertentu, dan dimaksudkan untuk
makna yang berbeda dengan tempat lainnya. Maka, kata yang disebutkan pada suatu
tempat, sama dengan yang disebutkan pada tempat lainnya. Dan penafsiran makna
setiap katanya berbeda pada setiap tempatnya disebut wujuh, Jadi nazhair
sebutan untuk lafaz dan nazhair sebutan untuk makna yang beragam.”[4]
Jadi, sederhananya
wujuh merupakan pemahaman mufassir terhadap suatu kata dalam tempat tertentu
dengan makna tertentu. Dan wujuh lainnya adalah pemahaman mufassir terhadap
kata yang sama pada tempat lainnya dengan makna yang berbeda dengan pemahaman
pertama. Sementara nazhair, sebagaimana definisi Ibn Jauzi, sebutan bagi lafaz,
maka kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama (nazhirun) dengan yang
disebutkan pada tempat lainnya. Berarti, kata-kata yang terulang dalam beberapa
tempat dalam Alquran tersebut, bukanlah mengalami pengulangan kata itu sendiri
(lais huwa nafsuhu), melainkan kata yang sama (nazhiruhu).[5] Jadi, kata kitab misalnya, yang terdapat di
banyak tempat dalam Alquran, pada dasarnya tidak disebutkan berulang, hanya
saja disampaikan kata yang sama dengannya (nazhiruhu). Kitab yang disebutkan
pada tempat A, bukanlah kitab yang disebutkan pada tempat B.
Di samping itu,
Imam Al-Shuyuti menjelaskan pengertian definitif wujuh dan nazhair:[6]
Wujuh adalah
lafaz musytarak yang digunakan dalam beberapa ragam maknanya, seperti lafaz
‘ummah’. Dan nazhair adalah seperti lafaz-lafaz yang bersesuaian (alfaz
al-mutawathi’ah).
Akan tetapi, Salwa
Muhammad mengkritik definisi ini. Menurutnya, pada definisi ini terjadi
pencampuradukan antara sudut pandang bahasa Alquran dengan sudut pandang bahasa
Arab. Memang Alquran berbahasa Arab, namun bahasa Alquran lebih khas dari
bahasa Arab sehingga bahasa Arab merupakan alat bantu untuk memahami bahasa
Alquran.[7]
- 2. Wujuh dan Nazha’ir Sebagai Fenomena Kebahasaan
Wujuh sebagai kata
atau ujaran, merupakan unsur terkecil bahasa yang telah memiliki makna dan
memiliki banyak pengertian sehingga digunakan diberbagai tempat dalam Al-Qur’an
dengan pengertian yang beragam.
Wujuh pada dasarnya
memiliki sebuah makna yang tetap melekat padanya, namun ketika kata tersebut
memasuki sebuah kalimat untuk menunjukkan konteks tertentu dari suatu teks,
kata tersebut mengalami perkembangan makna berdasarkan konteksnya.[8]
Makna yang tetap
melekat padanya, yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan, disebut
dengan makna dasar suatu kata. Perkembangan makna yang dialami oleh suatu kata,
terjadi jika kata dipahami dalam sistem hubungan bahasa yang digunakan untuk
manjelaskan suatu konteks. Makna yang ditambahkan pada suatu kata sepanjang
dimaknai dalam suatu sistem hubungan bahasa itu, disebut makna relasional.[9]
Sebagai contoh adalah
kata Kitab yang terpisah dari
sistem hubungan memiliki makna dasar “Kitab”. Namun, saat ia diletakkan pada
sistem khusus dalam hubungan erat dengan kata-kata penting seperti Allah, Wahyu, Tanzil, Nabi,dll
ia dipahami secara komprehensif sebagai kata yang memiliki signifikansi dalam
kehidupan muslim. Kitab,
kemudian bukan hanya sebagai sebuah kitab dalam makna dasarnya, malainkan kitab
yang merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi. Kata Kitab jadi memiliki makna baru
yang tidak dipahami sebelumnya oleh masyarakat pra-Islam.[10]
Menurut Izutsu, tidak
satu pun istilah kunci yang berperanan dalam pembentukan pandangan dunia
(Weltanschauung). Al-Qur’an merupakan istilah-istilah baru. Namun, saat
istilah-istilah itu dipakai dalam Al-Qur’an sebagai sistem hubungan yang
komprehensif, konteks umumnya lalu menciptakan makna yang tidak dikenal
sebelumnya oleh orang-orang Musyrik Makkah. Keterpaduan istilah-istilah kunci
dalam Al-Qur’an telah menciptakan pandangan dunianya sendiri-sendiri sebagai
cakrawala baru untuk memahami masing-masing istilah dalam Al-Qur’an.
Sealain itu, Gadamer
mengemukakan bahwa bahasa memiliki struktur spekulatif yang berarti cermin.[11]
Seseorang yang sedang memandang sahabatnya melalui cermin walaupun ia dapat
melihat wajah dan bentuk tubuh sahabatnya, namun apa yang ia lihat bukanlah
sahabatnya yang sesungguhnya. Bahkan wajah dan bentuk tubuh sahabatnya itu pun
sangat terpangaruh oleh sudut pandangnya. Ini dianalogikan dengan seseorang
yang membaca maksud Allah melelui teks Al-Qur’an. Walaupun ia dapat membaca
kehendak Allah lewat teks tersebut, namun pembacaannya tentu berbeda dengan
pembacaan orang dari perspektif yang berbeda. Sehingga dari sinilah Al-Qur’an
dapat dipahami bahwasanya Al-Qur’an memiliki kebenaran yang bersifat
Multidimensi.
Kata-kata dalam
Al-Qur’an yang memiliki interrelasi inilah yang dipahami sebagai Wujuh.
Sedangkan Nazha’ir adalah kata-kata yang bukan merupakan istilah-istilah kunci sebagai
konsep religius, sehingga ia dipahami dengan makna dasarnya yang berpijak pada
tradisi bahasa Arab saat Al-Qur’an diturunkan.
- 3. Wujuh dan Nazha’ir Sebagai Fenomena Kewahyuan
Al-Qur’an sebagai
jalan hidup mengandung kalam Allah sebagai gagasan-gagasan Islam yang bersifat
transendental dan universal, shalih kulli zaman wa makan. Untuk dapat berfungsi
sebagai petunjuk Al-Qur’an harus dapat dipahami oleh pembacanya.
Untuk memahami makna
yang ada di balik kalam Allah didalam Al-Qur’an, dapat dilakukan dengan
berbagai macam upaya. Meski pada dasarnya tidak ada seorang pun yang berhak
mengatakan bahwa apa yang dapat dipahami dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut
adalah merupakan apa yang sebenarnya dimaksud oleh Allah. Namun,terdapat
standar untuk memperoleh kesepakatan
makna dari bahasa Kitab suci tersebut, yakni kondisi objektif teks atau firman
tertulis dalam bahasanya itu sendiri.[12]
Fenomena Wujuh dan
Nazha’ir dalam pembahasan ilmu-ilmu Al-Qur’an juga merupakan hasil usaha yang
dilakukan untuk manafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Fenomena Wujuh menunjukkan
bahwa sistem hubungan istilah-istilah kunci dalam Al-Qur’an telah membentuk
pandangan dunianya sebagai cakrawala pemahaman bagi pembacanya dalam usaha
memahami kandungannya. Sedangkan fenomena Nazha’ir mengindikasikan Al-Quran
sebagai peristiwa kesejarahan yang juga menggunakan kata-kata dengan makna
dasar yang diwarisi oleh tradisi saat dan dimana ia diturunkan.
Maka Wujuh merupakan fenomena kewahyuan, dimana seorang
pembaca AL-Qur’an akan mendapatkan bahwa ayat-ayatnya menampakkan wajahnya dari
perspektif dan latar belakang ia membacanya.
- 4. Wujuh dan Nazhair dalam Al-Qur’an
Para mufassir
telah meneliti bahwa tidak sedikit kata-kata dalam Alquran yang keluar beberapa
kali, dan setiap kali kata itu digunakan pada suatu tempat (kalimat/ayat), akan
bermakna berbeda dengan penggunaannya pada tempat lain.[13]
Dalam al-Itsqan,
setelah dipelajari, terdapat sepuluh kata yang mempunyai banyak makna.
Kata-kata tersebut adalah: (1) Huda, yang mempunyai tujuh belas
makna, (2) al-su’u yang mempunyai sebelas arti yang berbeda, (3) al-shalah
yang mempunyai sembilan makna, (4) al-rahmah yang mempunyai empat belas
makna, (5) al-fitnah yang mempunyai lima belas makna, (6) al-ruh
dengan sembilan makna, (7) al-qadha dengan lima belas arti, (8)
al-zikru
yang mempunyai tujuh belas makna, (9) al-du’a yang mempunyai enam makna,
dan (10) al-ihshan dengan tiga makna. Selanjutnya, juga disampaikan
kata-kata yang mempunyai makna seragam dengan satu pengecualian, seperti kata al-asaf
yang berarti “kesedihan”, dalam satu
ayat ia jadi bermakna menjadikan marah.
Berikut ini akan
dipaparkan secara rinci berikut contoh ayat dari satu kata saja dengan berbagai
perbedaan maknanya, yaitu al-Huda. Sebagaimana disampaikan di muka, kata
al-huda yang mempunyai beragam makna dalam al-Qur’an, yaitu:[14]
1)
Al-tsabat (tetapkan)
اهدناالصراط المستقيم
Artinya: Teguhkanlah kami pada jalan yang lurus (Al-Fatihah: 6)
2)
Al-bayan (petunjuk)
اولئك على هدى
من ربهم وأولئك هم المفلحون
Artinya: Merekalah yang berada dalam
penjelasan Tuhan dan mereka akan berhasil (Al-Baqarah: 5)
3)
Al-din (agama)
قل ان الهدى هدى
الله ايؤتى احدمثل ما اوتيتم اويحا جُّوكم.......
Artinya: Katakanlah, “Agama yang benar ialah
agama Allah: (takutlah kamu) supaya tidak ada yang akan diturunkan kepada orang
lain seperti yang telah diturunkan kepada kamu atau mereka (yang menerima wahyu
demikian) akan membantah kamu di depan Tuhanmu?” Katakanlah, “Segala karunia di
tangan Allah, diberikan kepada yang Ia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha
Tahu” (Ali Imran: 73).
4)
Al-iman (keimanan)
ويزيد الله
الذين اهتدوا هدى والبا قيا ت
الصالحات.....
Artinya: Dan Allah akan menamabah keimanan
kepada mereka yang telah dikaruniakan iman dan amal kebaikan kekal, dalam
pandangan Tuhanmu itulah yang terbaik sebagai pahala dan yang terbaik sebagai
tempat kembali (Maryam: 76).
5)
Ad-Dua’ (seruan)
ويقول الذين كفروا
لولاانزل عليه آية من ربه انما انت منذر ولكل قوم هاد
Artinya: Dan orang-orang kafir berkata:
“Mengapa tidak diturunkan kepadanya sebuah ayat dari Tuhannya?” Tetapi engkau
adalah seorang pemberi peringatan, dan pada setiap golongan ada seorang penyeru
(Al-Ra’d: 7).
6)
Al-rasul dan al-kitab (para Rsul
dan Kitab-kitab)
قلنااهبطوا منها
جميعا فإما يأتينكم منى هدى فمن تبع هداي
فلا خوف عليهم ولاهم يحزنون
Artinya: Kami berfirman, “Turunlah kamu
sekalian dari sini, maka apabila datang kepadamu rasul dan kitab Aku, siapa pun
mengikuti rasul dan kitab-Ku tak perlu khawatir, tak perlu bersedih
(Al-Baqarah: 38)
7)
Al-ma’rifah (pengetahuan)
وبالنجم هم يهتدون
Artinya: Dan rambu-rambu dan dengan
bintang-bintang mereka mengetahui. (Al-Najm: 16).
8)
Nabi SAW
ان الذين يكتمون
ماانزالنامن البينات والهدى من بعد.....
Artinya: Mereka yang menyembunyikan segala
keterangan (ayat-ayat) dan Nabi yang Kami turunkan setelah dijelaskan dalam
kitab kepada manusia, mereka mendapat laknat Allah, dan laknat mereka yang
berhak melaknat (Al-Baqarah: 159).
9)
Al-Qur’an
ان هي الا اسماء
سميتموها انتم وابا اكم ماانزل الله بها من سلطان ان يتَّبعو ن الاالظنَّ وما تهوى
الانفسوولقدجاءهم من ربهم الهدى
Artinya: Itu hanya nama-nama yang kamu
buat-buat sendiri-sendiri, kamu dan moyang kamu, Allah tidak memberi kekuasaan
itu. Apa yang mereka ikuti hanyalah dugaan dan yang menyenangkan nafsu sendiri!
Padahal Al-Qur’an dari Tuhan sudah sampai kepada mereka (Al-Najm: 23).
10)
Taurat
ولقد اينا موسى الهدى
وأو رتنابنى إسرائيل الكتاب
Artinya: Dahulu telah Kami berikan kepada Musa
Taurat, dan kamu wariskan kitab itu kepada Bani Israil (Al-Mukmin: 53)
11)
Al-Istirja’ (permohonan
perlindungan)
اولئك عليهم صلوات
من ربهم ورحمة والئك هم المهتدون
Artinya: Mereka itulah yang mendapatkan
karunia dan rahmat dari Tuhan dan mereka itulah yang memohon perlindungan
(Al-Baqarah: 157)
12)
Al-Hujjah (alasan)
الم ترإلى الذى
حاجَّ ابراهيم فى ربه أن اتاه الله الملك اذقال ابراهيم ربي الذي يهي ويميت قال
انااحيي واميت قال ابراهيم فان الله يأ تي بالشمش من المشرق فأ ت بهامن المغرب
فبهت الذي كفر والله لا يهدى القوم الظالمين
Artinya: Tidakkah tergambar olehmu orang yang
berdebat dengan Ibrahim tentang Tuhannya karena ia telah diberi kekuasaan?
Ibrahim berkata, “Tuhanku Yang menghidupkan dan Yang mematikan.” Ia berkata,
“Akulah yang menjadikan hidup dan membuat mati,” Ibrahim berkata, “Tapi Allah
yang menyebabkan matahari terbit di timur, terbitkanlah kalau begitu dari
barat.” Orang yang ingkar itu terkejut. Allah tidak memberikan alasan kepada
orang-orang yang zalim (Al-Baqarah: 258).
13)
Al-Tauhid (ajaran keesaan)
وقالوا ان نتبع
الهدى معك نتخطف من ارضنا اولم نمكن لهم حرما امنا يجبى اليه......
Artinya: Mereka berkata, “Maka akan mengikuti
ajaran keesaan bersamamu, tentulah kami akan diusir dari tanah kami.” Bukankah
Kami sudah menetapkan bagi mereka tempat yang suci dan aman? Ke sana
didatangkan segala macam buah-buahan sebagai rezki pemberian Kami. Tetapi
kebanyakan mereka tidak tahu. (Al-Qashash: 57).
14)
Al-Sunnah (pedoman perilaku)
بل قالوا إنا وجدنا
أباء نا على امةٍ وانا على اثا رهم مهتدون
Artinya:Bahkan mereka berkata, “Kami sudah
melihat leluhur kami sudah menganut suatu agama, dan kami berpedoman kepada
mereka (Al-Zukhruf: 22).
15)
Al-Ishlah (pembenaran)
ذلك ليعلم أني
لم اخنه بالغيب وان الله لا يهدى كيدالخا
ئنين
Artinya: Itulah supaya ia tahu bahwa aku tidak
mengkhianatinya ketika ia tidak ada, dan Allah tidak membiarkan tipu muslihat
para pengkhianat (Yusuf: 52)
16)
Al-Ilham (ilham)
قال ربناالذي اعطى كل شيئ خلقه ثم هدى
Artinya: Ia berkata, “Tuhan kamilah yang
memberikan segala sesuatu bentuk dan kodratnya, kemudian mengilhaminya. (Thaha:
50)
17)
Al-Taubah (taubat)
واكتب لنافى هذه الدنيا حسنة وفي الاخرة إنا هدنا
اليك........
Artinya: Dan tetapkanlah untuk kami kehidupan
yang baik di dunia dan di akhirat. Sungguh, kami bertaubat kepada-Mu.” Ia
berfirman, “Azab-Ku akan menimpa siapa-siapa yang Ku kehendaki dan rahmat-Ku
meliputi segala sesuatu. Dan akan Kutetapkan (rahmat-Ku) untuk mereka yang
bertakwa dan yang mengeluarkan zakat serta mereka yang beriman kepada ayat-ayat
Kami.” (Al-A’raf: 157).
Sedangkan contoh
nazha’ir dalam Al-Qur’an adalah kata “al-barru”
yang selalu bermakna darat dan “al-bahru” yang selalu bermakna laut, misalnya
dalam ayat :
1.
QS Al-an’am [6] : 59
.......ويعلم ما فى البرِّ والبحر.....
“Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut.”
2.
QS Yunus [10] : 22
هوالذي يسبِّركم فى
البرَّ والبحر
“Dialah yang memungkinkan kamu menjelajahi
daratan dan lautan.”
3.
QS Al-isra’ [17] :70
ولقد كرَّمنا بنى
ادم وحملنهم فى البر والبحر ورزقنهم من الطيبت .........
“kami telah memberi
kehormatan kepada anak-anak adam, kami lengkapi mereka dengan angkutan di darat
dan di laut.”
- C. Kesimpulan
Wujuh merupakan kata
dalam Al-Qur’an yang digunakan dalam berbagai tempat dan memiliki tunjukan
makna yang sama. Sementara nazha’ir adalah lafaz yang mempunyai satu makna
tertentu yang tetap sekalipun digunakan dalam berbagai tempat. Di sisi lain,
al-wujuh wa al-nazha’ir dipahami sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan,
hanya saja ia dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Suatu kata dalam
Al-Qur’an yang terdapat pada beberapa tempat yang beragam merujuk kepada makna
yang berbeda. Maka, perbedaan makna itu merupakan wujuh, sementara kata itu
sendiri yang tetap sama pada berbagai tempat merupakan nazha’ir.
Wujuh merupakan fenomena kewahyuan, dimana seorang
pembaca AL-Qur’an akan mendapatkan bahwa ayat-ayatnya menampakkan wajahnya dari
perspektif dan latar belakang ia membacanya.
- D. Daftar Pustaka
Az-Zarkasyi.
Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an Juz 1. Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008.
As-Shuyuti,
Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 hlm. 164. Maktabah al-Syamilah.
Pustaka Ridwana. 2008
Chirzin, Muhammad.
Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2003.
al-‘Awwal, Salwa
Muhammad. al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar el-Syuruq.
1998.
Izutsu, Toshihiko, Relasi
Tuhan dan Manusia : Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terjemah Agus Fahri
Husain dkk. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya,1997.
Poespoprodjo,
Interprestasi : Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya, Bandung : Remaja
Karya, 1987.
Hidayat, Komaruddin,
Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutk, Jakarta : Paramadina,1996.
[1] Az-Zarkasyi, Al-Burhan Fi
Ulumil Qur’an, juz 1, (Beirut: Isa al-Babi al-Halabi, 1972). Hlm. 103.
[2] Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum
al-Qur’an Juz 1 hlm. 102. Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[3] Salwa Muhammad al-’Awwa,
al-Wujuh wa al-Nazhair ..., hlm. 41.
[4] Salwa Muhammad al-awwa,
al-Wujuh wa al-Nazhair.... hlm 42
[5] Salwa Muhammad al-’Awwa,
al-Wujuh wa al-Nazhair ..., hlm. 42.
[6] Al-Shuyuti, Al-Itsqan fi Ulum
al-Qur’an Juz 1 hlm. 164. Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008
[7] Salwa Muhammad al-’Awwa,
al-Wujuh wa al-Nazhair ..., hlm. 44
[8] Drs.Muhammad Chirzin, .
Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2003), hlm.
207.
[9] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan
dan Manusia : Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, terjemah Agus Fahri
Husein dkk. (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997), Hlm.12
[10] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan
dan Manusia : Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, terjemah Agus Fahri
Husein dkk. (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997), Hlm. 11
[11] Poespoprodjo, Interprestasi :
Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya (Bandung : Remaja Karya, 1987),
hlm.117
[12] Komaruddin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hemeneutik (Jakarta: Paramidana, 1996), hlm.9
[13] Salwa Muhammad al-’Awwa, al-Wujuh wa al-Nazhair ..., hlm. 41
[14] http://naklawang.blogspot.com/2011/01/al-wujuh-wa-al-nazhair_16.html
diakses pada hari senin 18 November 2013 pukul 22:30
No comments:
Post a Comment