Saturday, November 2, 2013

GADIS BERKACA MATA



            Mentari bersinar cerah, teriknya lumayan tak panas, tak sepanas terik dimusim kemarau, yang membuat tanah kekeringan dan debu bertebaran disepanjang jalan, mengepul bagai debu dari letusan gunung berapi.
            Waktu berjalan begitu cepat, tak tersadari kini aku mulai beranjak semakin dewasa, meninggalkan umur tujuh belas tahun. Meninggalkan sejuta kenangan pondok yang terus menimbulkan kerinduan. Kini masa SMA telah berlalu dan masa kampus telah menanti dan melambai-lambai didepan mata. Dan kini aku harus pergi meninggalkan perkarangan rumah menuju daerah yang tak pernah kujemahi didalam hidupku.
            Begitu berat rasa hati meninggalkan bunda, jauh melangkah meninggalkannya. Hingga dua pulau membentang menjadi penghalang dengan tanah kelahiran. Tanah yang ku anggap sebagai tanah surga, dengan keindahan alam, pesisir pantai nan indah dari semenanjuk selong sampai kute[1]. Ditambah dengan udara nan segar, dari pohon-pohon yang berdiri kokoh dan lebat.
            “Ah,,, sungguh merindukan”.
            Sedikit demi sedikit, ayunan langkah kaki terus melangkah. Tak terhiraukan meski pagi buta dengan kumpulan kabut-kabut kecil disepanjang jalan. Hari pertama kuliah seakan tak mau ku lalui dengan keterlambatan. Sampai pada akhirnya ku memutuskan untuk datang lebih awal.
            Pandangan mata berdecak kagum, menyaksikan bangunan-bangunan menjulang tinggi yang tak pernah kulihat didaerah asalku. Hingga pada akhirnya membuat ku keheranan. Dan baru kali ini semuanya bisa kulihat dan kurasakan dengan nyata. Akupun kembali mengayunkan kaki untuk melangkah menuju lorong-lorong bangunan kampus untuk mencari kelas pertama yang akan kutempati dikampus baruku.
            Dalam ruang hampa, hanya aku seorang bersama puluhan kursi yang telah tertata rapi. Mulai ku buka lembaran demi lembaran buku yang ku bawa dari kos. Perlahan terdengar suara alunan langkah kaki melangkah menghampiri ruang hampa yang ku tempati. Setelah beberapa lama, sekujur tubuh mungil seketika masuk dari bilik pintu yang sengaja ku tutup rapat. Tubuh itu hanya diam, yang terlihat hanya sorotan mata memperhatikan seluruh isi ruangan, namun entah apa ia juga memperhatikan ku atau tidak.
            Setelah beberapa lama berdiri didepan pintu, tubuh mungil itu pun duduk di kursi yang berada tak jauh dari tempat duduk ku.
            Ingin rasanya untuk menyapa ataupun sedikit berkenalan, namun batin terasa kurang “Pd” untuk menyapa seorang gadis bertubuh mungil itu, gadis itu terlihat indah dengan pakaian yang serba berwarna merah, memakai kaca mata dan cantik bagai bidadari khayangan.
            Kurang lebih  sepuluh menit kami dalam kebisuan, diam seribu bahasa, seperti orang bisu yang tak manpu berbicara. Sesekali hanya pandangan mata melintas, itupun hanya sebentar, kurang lebih beberapa detik, baru setelahnya diiringi senyuman dan tundukan kepala layaknya memberi hormat. Ruang tersebut terasa semakin hampa.
            Deringan handphone memecah kesunyian, dengan nada bacaan kitab suci seorang Qari’ yang berasal dari Lombok[2]. Lantunan ayat-ayat suci terdengar merdu, hingga menyegarkan hati dipagi buta.
            Ku tarik handphone didalam saku celana secara perlahan, gadis berkaca mata itu melakukan hal yang sama, entah kenapa,,, namun aku tak menghiraukannya.
            Handphone ku telah berada didalam genggaman. Nada panggilan masih berbunyi didalam ruang hampa, namun handphone ku tak terlihat menerima panggilan, padahal nada panggilan yang ku gunakan adalah suara Qari’ tersebut. Segera ku lirikkan pandangan menuju gadis yang hampir beberapa meter disamping ku, dan terlihat ia tengah mengangkat handphone yang telah cukup lama berbunyi. Nada panggilan kami sama.
            Melalui sebuah nada bacaan ayat suci tersebut, ku menyadari bahwa gadis tersebut juga berasal dari Lombok seperti halnya dengan ku.
            “Kamu dari Lombok,,,? Sapa ku mencoba memecah keheningan.
            Ia tak menjawab, namun senyum manis keluar dari bibirya diiringi gerakan anggukan yang berarti sebuah kata iya. Suasana kembali pada titik kesunyian dimana hanya ada dan dia.
***
            Hari-hari ku lalui dengan semua hal yang baru, ruangan yang setiap dua jam berpindah hampir setiap hari, tak seperti waktu SMA, yang hanya duduk dalam satu ruangan kelas setiap saat hingga pulang sekolah.
            Dalam keheningan, raut wajah sang gadis berkaca mata terbayang, melambai-lambai kesatu arah, pandangan mata yang seakan menghayutkanku, bibir yang selalu membisu tanpa kata hampir satu tahun lamanya membuatku penasaran. Setitik demi setitik lamunan,ku sadari bahwa aku telah mengaguminya pada  pandangan pertama diruang hampa yang telah terjadi setahun lalu.
            Gadis misterius yang terus menyapa kalbu, seolah tiada hari untuk tidak mengingatnya, entah itu dikampus, kos, toilet bahkan dalam sujud tak pernah ku lupa bayangannya. Bayangannya seakan telah menancap dalam pikiran, hingga gadis-gadis lain tak bisa untuk menghapusnya. Decatan kata kagum kepada gadis berkaca mata membekas, layaqnya sebuah paku yang menancap dan tak dapat dicabut kembali. Entahlah, kenapa bisa seperti itu. Aku juga tak mengerti, sebab musabab perasaan kagumku.
            Kini tatapan mata itu sudah tak ku jumpai, begitu juga dengan senyuman manis yang selalu ku perhatikan dengan samar. Tatapan matanya seketika berubah derastis menjadi tatapan luka yang tak dapat terhapuskan, meski untaian kebahagian datang dari karib sahabat mencoba menghiburnya.
            Ingin rasanya tuk menghiburnya, namun rasa malu terus menghalangiku. Aku ibarat patung didepannya, diam tanpa kata, seakan kehabisan kata-kata. Padahal seribu kata ku persiapkan untuk menghiburnya, mengembalikan senyuman indah yang telah hilang darinya. Namun rasa malu tak dapat ku elakkan. “Malu tapi mau”
            Sebulan lalu, kedua orang tuanya pergi untuk selamanya. Meninggalkan gadis berkaca mataku. Tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ketujuh belas tahun. Dalam perjalanan menuju jogja, untuk pesta ulang tahun anaknya. Mereka mengalami kecelakaan, menjemput takdir yang telah ditentukan Tuhan, ditengah persimpangan menuju Jogja.
            Gadis itu seketika sokh berat, terkapar pingsan, mendengar berita duka menimpa kedua orang tuanya. Hadiah ulang tahun ketujuh belas dari Tuhan, mengambil dua orang yang ia sayangi, menghilangkan senyumannya, hingga ia menjadi gadis membisu dalam keramaian.
            Ia kini bagai sekuntum bunga yang layu, meski air menyirami setiap harinya. Senyum indahnya menghilang, pandangan matanya yang indah berubah menjadi pandangan mata kesedihan. Meski begitu, aku tetap mengaguminya, dalam ketersembunyian.

Yogyakarta 2013




[1] . selong dan kute adalah sebuah daerah yang terdapat dipulau lombok. Daerah ini dikenal sebagai daerah pepantaian dan dijadikan sebagai tempat parawisata.
[2] . Lombok disini bukan cabai, akan tetapi pulau yang terletak dibagian timur. Lebih tepatnya pulau yang berada disebelah timur pulau Bali.

No comments:

Post a Comment

Bagaimana Isi Blog ini ?