Mentari
bersinar cerah, teriknya lumayan tak panas, tak sepanas terik dimusim kemarau, yang
membuat tanah kekeringan dan debu bertebaran disepanjang jalan, mengepul bagai
debu dari letusan gunung berapi.
Waktu
berjalan begitu cepat, tak tersadari kini aku mulai beranjak semakin dewasa,
meninggalkan umur tujuh belas tahun. Meninggalkan sejuta kenangan pondok yang
terus menimbulkan kerinduan. Kini masa SMA telah berlalu dan masa kampus telah
menanti dan melambai-lambai didepan mata. Dan kini aku harus pergi meninggalkan
perkarangan rumah menuju daerah yang tak pernah kujemahi didalam hidupku.
Begitu
berat rasa hati meninggalkan bunda, jauh melangkah meninggalkannya. Hingga dua
pulau membentang menjadi penghalang dengan tanah kelahiran. Tanah yang ku
anggap sebagai tanah surga, dengan keindahan alam, pesisir pantai nan indah
dari semenanjuk selong sampai kute[1]. Ditambah dengan udara nan segar, dari pohon-pohon
yang berdiri kokoh dan lebat.
“Ah,,,
sungguh merindukan”.
Sedikit
demi sedikit, ayunan langkah kaki terus melangkah. Tak terhiraukan meski pagi
buta dengan kumpulan kabut-kabut kecil disepanjang jalan. Hari pertama kuliah
seakan tak mau ku lalui dengan keterlambatan. Sampai pada akhirnya ku
memutuskan untuk datang lebih awal.
Pandangan
mata berdecak kagum, menyaksikan bangunan-bangunan menjulang tinggi yang tak
pernah kulihat didaerah asalku. Hingga pada akhirnya membuat ku keheranan. Dan
baru kali ini semuanya bisa kulihat dan kurasakan dengan nyata. Akupun kembali
mengayunkan kaki untuk melangkah menuju lorong-lorong bangunan kampus untuk
mencari kelas pertama yang akan kutempati dikampus baruku.
Dalam
ruang hampa, hanya aku seorang bersama puluhan kursi yang telah tertata rapi.
Mulai ku buka lembaran demi lembaran buku yang ku bawa dari kos. Perlahan
terdengar suara alunan langkah kaki melangkah menghampiri ruang hampa yang ku
tempati. Setelah beberapa lama, sekujur tubuh mungil seketika masuk dari bilik
pintu yang sengaja ku tutup rapat. Tubuh itu hanya diam, yang terlihat hanya sorotan
mata memperhatikan seluruh isi ruangan, namun entah apa ia juga memperhatikan
ku atau tidak.
Setelah
beberapa lama berdiri didepan pintu, tubuh mungil itu pun duduk di kursi yang
berada tak jauh dari tempat duduk ku.
Ingin
rasanya untuk menyapa ataupun sedikit berkenalan, namun batin terasa kurang
“Pd” untuk menyapa seorang gadis bertubuh mungil itu, gadis itu terlihat indah dengan
pakaian yang serba berwarna merah, memakai kaca mata dan cantik bagai bidadari
khayangan.
Kurang
lebih sepuluh menit kami dalam kebisuan,
diam seribu bahasa, seperti orang bisu yang tak manpu berbicara. Sesekali hanya
pandangan mata melintas, itupun hanya sebentar, kurang lebih beberapa detik,
baru setelahnya diiringi senyuman dan tundukan kepala layaknya memberi hormat.
Ruang tersebut terasa semakin hampa.
Deringan
handphone memecah kesunyian, dengan nada bacaan kitab suci seorang Qari’ yang
berasal dari Lombok[2]. Lantunan ayat-ayat suci
terdengar merdu, hingga menyegarkan hati dipagi buta.
Ku
tarik handphone didalam saku celana secara perlahan, gadis berkaca mata itu melakukan
hal yang sama, entah kenapa,,, namun aku tak menghiraukannya.
Handphone
ku telah berada didalam genggaman. Nada panggilan masih berbunyi didalam ruang
hampa, namun handphone ku tak terlihat menerima panggilan, padahal nada
panggilan yang ku gunakan adalah suara Qari’ tersebut. Segera ku lirikkan
pandangan menuju gadis yang hampir beberapa meter disamping ku, dan terlihat ia
tengah mengangkat handphone yang telah cukup lama berbunyi. Nada panggilan kami
sama.
Melalui
sebuah nada bacaan ayat suci tersebut, ku menyadari bahwa gadis tersebut juga
berasal dari Lombok seperti halnya dengan ku.
“Kamu
dari Lombok,,,? Sapa ku mencoba memecah keheningan.
Ia
tak menjawab, namun senyum manis keluar dari bibirya diiringi gerakan anggukan
yang berarti sebuah kata iya. Suasana kembali pada titik kesunyian dimana hanya
ada dan dia.
***
Hari-hari
ku lalui dengan semua hal yang baru, ruangan yang setiap dua jam berpindah
hampir setiap hari, tak seperti waktu SMA, yang hanya duduk dalam satu ruangan
kelas setiap saat hingga pulang sekolah.
Dalam
keheningan, raut wajah sang gadis berkaca mata terbayang, melambai-lambai
kesatu arah, pandangan mata yang seakan menghayutkanku, bibir yang selalu
membisu tanpa kata hampir satu tahun lamanya membuatku penasaran. Setitik demi
setitik lamunan,ku sadari bahwa aku telah mengaguminya pada pandangan pertama diruang hampa yang telah
terjadi setahun lalu.
Gadis
misterius yang terus menyapa kalbu, seolah tiada hari untuk tidak mengingatnya,
entah itu dikampus, kos, toilet bahkan dalam sujud tak pernah ku lupa
bayangannya. Bayangannya seakan telah menancap dalam pikiran, hingga
gadis-gadis lain tak bisa untuk menghapusnya. Decatan kata kagum kepada gadis
berkaca mata membekas, layaqnya sebuah paku yang menancap dan tak dapat dicabut
kembali. Entahlah, kenapa bisa seperti itu. Aku juga tak mengerti, sebab
musabab perasaan kagumku.
Kini
tatapan mata itu sudah tak ku jumpai, begitu juga dengan senyuman manis yang
selalu ku perhatikan dengan samar. Tatapan matanya seketika berubah derastis
menjadi tatapan luka yang tak dapat terhapuskan, meski untaian kebahagian
datang dari karib sahabat mencoba menghiburnya.
Ingin
rasanya tuk menghiburnya, namun rasa malu terus menghalangiku. Aku ibarat
patung didepannya, diam tanpa kata, seakan kehabisan kata-kata. Padahal seribu
kata ku persiapkan untuk menghiburnya, mengembalikan senyuman indah yang telah
hilang darinya. Namun rasa malu tak dapat ku elakkan. “Malu tapi mau”
Sebulan
lalu, kedua orang tuanya pergi untuk selamanya. Meninggalkan gadis berkaca
mataku. Tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ketujuh belas tahun. Dalam perjalanan
menuju jogja, untuk pesta ulang tahun anaknya. Mereka mengalami kecelakaan, menjemput
takdir yang telah ditentukan Tuhan, ditengah persimpangan menuju Jogja.
Gadis
itu seketika sokh berat, terkapar pingsan, mendengar berita duka menimpa kedua
orang tuanya. Hadiah ulang tahun ketujuh belas dari Tuhan, mengambil dua orang
yang ia sayangi, menghilangkan senyumannya, hingga ia menjadi gadis membisu
dalam keramaian.
Ia
kini bagai sekuntum bunga yang layu, meski air menyirami setiap harinya. Senyum
indahnya menghilang, pandangan matanya yang indah berubah menjadi pandangan
mata kesedihan. Meski begitu, aku tetap mengaguminya, dalam ketersembunyian.
Yogyakarta 2013
[1] . selong dan kute adalah sebuah
daerah yang terdapat dipulau lombok. Daerah ini dikenal sebagai daerah
pepantaian dan dijadikan sebagai tempat parawisata.
[2] . Lombok disini bukan cabai,
akan tetapi pulau yang terletak dibagian timur. Lebih tepatnya pulau yang
berada disebelah timur pulau Bali.
No comments:
Post a Comment